Fasismemerupakan ideologi politik yang meletakkan kepentingan negara lebih penting daripada kepentingan individu atau masyarakat melalui penekanan kepada ketakutan terhadap sesebuah musuh yang dibayangkan dalam kerangka konspirasi atau ideologi lain. Dalam pola pemikiran fasis, musuh berada di mana-mana baik di medan perang mahupun dalam bangsa sendiri sebagai unsur yang tidak sesuai dengan ideologi fasis. Fasisme mementingkan perpaduan dan keseragaman yang wajib antara masyarakat bangsa yang s- Fasisme adalah sebuah ideologi negara yang berprinsip pada mutlaknya kepemimpinan tanpa pengecualian. Ideologi ini selalu membayangkan adanya musuh, sehingga pemimpin negara dan militer diwajibkan kuat guna menjaga kedaulatan negara. Dalam praktiknya, fasis termasuk dalam suatu ideologi yang radikal nasionalis dan otoriter dalam bidang fasis ini berkembang setelah Perang Dunia I berakhir. Adapun contoh negara fasis adalah Jerman, Italia, dan Jepang. Lalu, mengapa fasisme muncul di Jerman dan Italia serta Jepang? Baca juga Benito Mussolini, Diktator Fasis Italia yang Berakhir Tragis Jerman Negara yang kalah dalam Perang Dunia I, seperti Jerman dan Italia mengalami keterpurukan ekonomi. Sehingga Jerman dan Italia membangun kembali negara dengan kepemimpinan yang otoriter atau mutlak. Kemunculan fasis di Jerman ditandai dengan berdirinya Partai Buruh Deutsche Arbeiter Partij oleh Adolf Hitler di Kota Munich. Partai Buruh tersebut kemudian berkembang pesat menjadi National Sozialistiche Deutsche Arbeiter Partij atau dikenal sebagai NAZI. Ideologi partai ini menganut chauvinisme atau menganggap dirinya lebih unggul daripada ras lain. Berikut adalah faktor munculnya paham fasisme di Jerman Kemenangan NAZI pada pemilu 1930 Kesulitan ekonomi Kejayaan masa lampau Lemahnya pemerintahan Baca juga Kerugian yang Diderita Jerman Akibat Perjanjian Versailles Kemenangan NAZI di pemilu 1930 menjadikan Adolf Hitler Kanselir Jerman. Hitler memiliki ambisi untuk membawa kembali kejayaan Jerman. Untuk merealisasikan ambisinya tersebut, Hitler membuat beberapa langkah, seperti Membangun militer Membentuk polisi rahasia untuk menindas lawan politiknya Menolak Perjanjian Versailles Menyingkirkan orang-orang Yahudi Membangun industri untuk mengatasi pengangguran Memperkuat NAZI sebagai partai tunggal di Jerman Langkah-langkah yang dilakukan Hitler ini mengalami keberhasilan dan menumbuhkan rasa percaya diri. Selain itu NAZI juga menerapkan politik Libensraum atau gerakan politik dengan cara menguasai daerah seluas mungkin. Baca juga Partai Nazi Berdirinya, Kepemimpinan Adolf Hitler, dan Pembubaran Italia Paham fasis di Italia dipimpin oleh Benito Mussolini, yang mendirikan partai Fascis seperti di Jerman, kemunculan fasisme di Italia disebabkan oleh krisis ekonomi dan politik. Pada 1922, partai Fascis Italiani berhasil memenangkan pemilu hingga membawa Mussolini menjadi Perdana Menteri. Dalam perkembangannya, Mussolini melakukan kudeta terhadap raja dan mengukuhkan dirinya sebagai Il Duce atau sang pemimpin. Mussolini kemudian melakukan beberapa gebrakan guna mengembalikan kejayaan Italia. Berikut adalah langkah yang dilakukan oleh Mussolini Memperkuat militer Menguasai seluruh Laut Tengah Menguasai Ethiopia dan Albania Mengobarkan semangat Italia Irredenta sebagai landasan penyatuan Italia Baca juga Giuseppe Garibaldi, Pahlawan Revolusi yang Menyatukan Italia Jepang Latar belakang lahirnya fasisme di Jepang mengalami perbedaan dengan yang ada di Italia dan Jerman. Hal tersebut disebabkan karena fasisme di Jepang lahir untuk menjamin keberlangsungan pertumbuhan ekonomi yang sudah tercipta sejak Restorasi Meiji. Baca juga Restorasi Meiji Tokoh, Penyebab, dan Dampak Kebangkitan fasisme di Jepang dipelopori oleh Perdana Menteri Hideki Tojo pada masa pemerintahan Kaisar Hirohito 1926-1989. Saat itu, Jepang sedang mengalami kemajuan di berbagai bidang, seperti perdagangan, industri, dan militer. Bangsa Jepang membuat propaganda bahwa mereka adalah keturuan dari Dewa Matahari dan menganggap bangsa lain rendah. Berbekal pedoman tersebut, Jepang melakukan ekspansi politik dengan menguasai berbagai wilayah di kawasan Asia. Baca juga Kaisar Meiji, Tokoh Utama Reformasi Jepang Selain itu, Perdana Menteri Hideki Tojo juga berambisi membawa Jepang ke masa kejayaan. Untuk mencapai ambisinya tersebut, Perdana Menteri Hideki Tojo melakukan beberapa langkah, yakni Modernisasi militer Menyingkirkan tokoh politik anti militer Memperluas kekuasaan Propaganda Nippon 3A Mengenalkan paham Shinto Hakko Ichiu dunia sebagai satu yang dipimpin Jepang Dengan begitu, fasisme muncul di Italia, Jerman, dan Jepang karena adanya krisis ekonomi dan politik. Referensi Passmore, Kevin. 2018. Fasisme. Yogyakarta BASABASI. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel. Liputan6com, Jakarta Chauvinisme adalah sebuah bentuk dari perasaan cinta, bangga, loyalitas yang tinggi, fanatisme atau kesetiaan pada suatu Tanah Air atau negara tanpa mempertimbangkan pandangan
- Ideologi Liberalisme adalah suatu paham yang menghendaki adanya kebebasan. Istilah liberalisme berasal dari bahasa Latin, libertas atau dalam bahasa Inggris disebut liberty yang artinya yang dimaksud adalah kebebasan untuk bertempat tinggal, kemerdekaan pribadi, hak untuk menentang penindasan, serta hak untuk mendapatkan perlindungan pribadi dan hak itu, liberalisme juga didefinisikan sebagai suatu paham yang menghendaki adanya kebebasan individu, baik dalam bidang ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, kebudayaan, agama, maupun kebebasan sebagai warga Negara dinamakan liberalisme. Paham liberal maupun sebagai reaksi atas penindasan yang dilakukan oleh kaum bangsawan dan agamawan pada masa perkembangan feodalisme dengan pemerintahan monarki absolute. Pendukung utama paham liberal adalah kaum borjuis dan kaum-kaum terpelajar kota. Sejarah Ideologi Liberalisme Mengutip Heru Nugroho dalam penelitiannya pada Jurnal Ilmiah Bestari dengan judul Tinjauan Kritis Liberalisme dan Sosialisme Vol. 13, 2000 2, paham liberalisme mulai berkembang di pada abad ke-18 dan 19 di Prancis dan Inggris. Sebagai suatu gerakan, liberalisme dimulai pada masa renaissance yang memperjuangkan kebebasan manusia dari kungkungan gereja atau agama. Saat itu, kekuasaan raja, bangsawan, dan gereja mendominasi seluruh kehidupan masyarakat. Rakyat tidak memiliki kebebasan dalam berpendapat dan bertindak. Keadaan tertekan ini menimbulkan kritik dari berbagai kalangan yang menginginkan kebebasan di semua bidang kehidupan. Mengutip modul Sejarah Kelas XI 2020, konsep kebebasan dalam bidang politik melahirkan pemikiran tentang negara yang demokrasi. Konsep bebas dalam bidang ekonomi membuat masyarakat menentang monopoli dan campur tangan pemerintah, rakyat menginginkan ekonomi bebas. Dalam bidang moral, liberalisme menjunjung tinggi kebebasan individu dan menentang otoriterisme. Dalam bidang agama, kaum liberal menginginkan kebebasan memilih agama sesuai dengan keyakinannya, bebas beribadah menurut agamanya, dan juga bebas untuk tidak menganut agama apapun. Yang mana, urusan agama tidak boleh dicampur dengan urusan Siswanto dalam penelitiannya berjudul Konvergensi antara Liberalisme dan Kolektivisme sebagai Dasar Etika Politik di Indonesia dalam Jurnal Filsafat Vol. 38, 2004 270, menyebutkan bahwa ada empat unsur yang mendorong lahirnya liberalisme, yaitu perkembangan ilmu pengetahuan, pemanfaatan alat-alat teknologi, perubahan sosial, dan timbulnya kesadaran memperbaharui cara hidup. Beberapa tokoh yang mengusung terjadinya liberalisme dalam kehidupan saat itu, antara lain Voltaire, Montesquieu, dan Rousseau. Salah satu peristiwa yang menjadi tanda lahirnya liberalisme di Eropa ialah Revolusi Industri di Inggris 1760-1840 dan Revolusi Perancis 1789-1815. Ciri-ciri Liberalisme Mengutip kembali dari Dwi Siswanto Jurnal Filsafat, Vol. 38, 2004 271, disebutkannya ada lima ciri liberalisme, yaitu Bentuk pemerintahan demokrasi adalah yang terbaik. Masyarakat memiliki kebebasan intelektual penuh. Pengaturan yang dilakukan pemerintah hanya terbatas. Kekuasaan seseorang diartikan sebagai hal buruk dalam kehidupan. Kebahagiaan individu adalah tujuan utama. Sementara itu, Heru Susanto membagi ciri-ciri liberalisme dalam beberapa bidang, antara lain sebagai berikut Bidang Politik Munculnya demokratisasi. Bidang Sosial Kebebasan berpendapat, kesamaan kesempatan dalam usaha, reformasi sosial, dan perasaan egaliter. Bidang Seni dan Budaya Kebebasan dalam berekspresi, seperti lukisan, drama, seni, musik, dan lain-lain. Bidang Ekonomi Ekonomi pasar yang demokratis. Contoh dan Penerapan Liberalisme Masih dari Heru Susanto, ia menuturkan dalam penelitiannya bahwa pengaruh atau praktik liberalisme yang berjalan dan berdampak bagi kehidupan saat ini adalah munculnya globalisasi. Secara garis besar, dapat dipahami bahwa globalisasi mengintroduksikan pasar bebas, hiperliberalisasi individu, dan berupaya mengurangi peran pemerintah dalam sektor ekonomi. Di Indonesia, sistem liberalisme tidak diterapkan dalam kehidupan politik, tetapi diterapkan dalam kehidupan ekonomi. Berdasarkan pandangan Heru Susanto, pengaruh itu tampak pada berkembangnya gaya hidup penduduk yang mengikuti zaman. Hal tersebut dapat dilihat dari gaya hidup mewah dan kebebasan dalam hal memilih kebutuhan merupakan ciri-ciri liberalisme dalam sektor ekonomi. Selain itu, pengaruh liberalisme juga dapat dilihat di beberapa negara besar seperti Amerika Serikat, Perancis, dan Jerman. Di negara-negara tersebut, liberalisme sangat dijunjung tinggi. Hal tersebut dapat dilihat dari penerapan demokrasi yang membuat rakyat bebas berpendapat dan berekspresi. Kemudian, dapat dilihat dari sektor ekonomi yang menerapkan prinsip sistem ekonomi pasar juga Sejarah Serta Pengaruh Ideologi Liberalisme di Asia dan Afrika Neoliberalisme di Antara MUI, Prabowo dan Jokowi Pengaruh Liberalisme di Asia Afrika Penyebaran paham liberalisme begitu pesat, hingga ke benua Asia dan Afrika. Paham ini kemudian memberikan pengaruh terhadap pergerakan masyarakat di kedua benua Bidang EkonomiPerkembangan liberalisme masuk ke dalam bidang ekonomi Asia-Afrika. Pengaruh liberalisme dalam bidang ekonomi contohnya Liberalisasi perdagangan meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia Afrika. Perdagangan bebas membuat masyarakat Asia Afrika bebas melakukan perdagangan luar negeri secara sekuler. Negara-negara Asia Afrika mulai mengembangkan produk industri masing-masing. Taraf kehidupan masyarakat Asia Afrika meningkat. 2. Bidang PolitikSelain ekonomi, liberalisme juga memengaruhi politik negara-negara Asia Afrika sebagai berikut Masyarakat Asia-Afrika dapat memilih pemimpin mereka sendiri. Negara-negara Asia Afrika bebas menentukan sistem politik dan sistem pemerintahan. Masyarakat memiliki hak untuk menyuarakan pendapat. Munculnya kebebasan dan kemerdekaan pers. 3. Bidang Sosial dan KebudayaanPengaruh liberalisme dalam bidang sosial dan kebudayaan di Asia-Afrika antara lain sebagai berikut Hadirnya sistem pendidikan egaliter di negara-negara Asia Afrika. Berkembangnya budaya populer di negara-negara Asia Afrika. Keikutsertaan negara-negara Asia Afrika dalam kancah fashion, olahraga, dan kesenian internasional misal Piala Dunia, Miss Universe, dll. Beragamnya sekolah dan perguruan tinggi yang bebas dipilih oleh masyarakat Asia Afrika. Baca juga Sejarah Perkembangan Nasionalisme di Indonesia dan 5 Prinsipnya Nilai-Nilai Pancasila Sebagai Dasar dan Ideologi Negara Indonesia Hakikat, Dimensi, Urgensi, & Isi Pancasila Sebagai Ideologi Negara - Pendidikan Kontributor Alhidayath ParinduriPenulis Alhidayath ParinduriEditor Maria UlfaPenyelaras Yulaika RamadhaniCiriCiri Fasisme. William Ebenstein melalui Isme-Isme yang Mengguncang Dunia, menjelaskan tujuh ciri dari fasisme, antara lain: 1) Tidak percaya pada kemampuan nalar. Bagi fasisme, keyakinan yang bersifat fanatik dan dogmatik adalah sesuatu yang sudah pasti benar dan tidak boleh lagi didiskusikan. 2) Pengingkaran derajat kemanusiaan Dalam tulisan terdahulu, sudah diuraikan mengenai apa itu fasisme dan bagaimana baik nasionalisme dan agama menjadi dasar tumbuhnya benih fasisme gaya baru di Indonesia. Berikut ini pemaparan lebih jauh bagaimana benih fasisme tengah mencoba-coba melawan musuh imajiner, serta bagaimana fasisme mencederai hak asasi manusia di Indonesia. Bagian 2 Fasisme Tak mampu Menerima Kebhinekaan Sejak identitas keindonesiaan didefinisikan terkait dengan tafsir agama yang sempit dan konservatif, kelompok minoritas seksual LGBT lesbian, gay, biseksual, transeksual kemudian dianggap pula sebagai musuh, sama saja seperti PKI. Walaupun secara objektif mereka sama sekali tidak berbahaya – tidak ada LGBT yang mengancam orang atas nama identitas mereka. Persoalan LGBT kerap dikaitkan sebagai ancaman untuk reproduksi bangsa, yaitu tidak hanya sebagai ancaman moral, tapi juga sebagai ancaman untuk kekuatan fisik bangsa. Itu wacana klise dalam pemikiran fasis, yang menganggap kekuatan bangsa adalah dasar untuk melawan privat Identitas fasis membutuhkan identitas yang berciri eksklusif, identitas yang sempit dan tidak mampu menerima kebhinekaan. Keindonesiaan sebagai dasar identitas kini sudah mulai menjadi lebih eksklusif sejak agama garis konservatif sebagai identitas menjadi lebih penting. Agama bisa diperalat ideologi fasis Agama bisa menjadi dasar fasisme, karena dewasa ini agama dijadikan topik publik yang diekspresikan melalui simbol-simbol di ruang umum saja. Dewasa ini, agama menjadi identitas rombongan dan bukan soal individu lagi. Sebagai identitas umum, agama butuh lawan atau musuh, yaitu sesuatu yang cocok untuk menjadi kebalikan identitas agamanya. Jikalau agama sudah dijadikan dasar identitas eksklusif, maka akan kehilangan spiritualitasnya. Yang menjadi penting kemudian, bukan lagi perdebatan bebas tentang Tuhan, doa atau meditasi, tapi mendengar khotbah pemimpin sekaligus menelan bulat-bulat khotbahnya tanpa berpikir secara kritis. Kalau sudah begitu, agama hanya menjadi ekspresi hubungan antar manusia, bukan lagi ekspresi hubungan individu dengan Tuhan, karena individu menjadi hilang dalam ideologi identitas. Melalui identitas agama yang sempit, agama bisa diperalat ideologi fasis supaya musuh diwujudkan. Ketika negara bekerjasama dengan kelompok proto-fasis Gerakan fasis tidak langsung muncul sebagai gerakan besar. Pada awalnya, fasisme diwujudkan dalam kelompok kecil, yaitu kelompok proto-fasis yang sudah kenal gagasan perintah dan kepatuhan sebagai landasan struktur sosialnya. Ideologi mereka dijadikan sebagai asas tunggal dan kekerasan serta ancaman sebagai alat untuk menguasai dan mengancam orang lain. Premanisme yang berdasar ideologi, seperti preman-preman agama, suku, atau preman yang beroperasi atas nama negara, sudah bisa merupakan benih-benih fasisme. Ide mereka akan menyebar jika tidak dilawan oleh negara hukum dan masyarakat sipil. Di Indonesia, institusi negara cukup sering bekerjasama dengan kelompok proto-fasis ini karena negara tidak mampu melawan kekerasan dan ancaman yang dilakukan mereka. Atas tujuan melawan musuh imaginer, polisi menyebut rombongan preman Islam sebagai partner. Di Bali, TNI sudah bekerjasama dengan preman secara terbuka dalam program “Bela Negara”. Sungguh ironi memang ketika pelanggar hukum dijadikan sebagai pembela negara. Negara yang bekerjasama dengan kaum protofasis bsa membantu mereka untuk berkembang. Sebenarnya, kooperasi itu sudah merupakan tindakan anti-kebhinekaan. Hubungan militer dengan kesejahteraan Baik panglima TNI maupun elit politik kerapkali memiliki kedekatan dengan elit ekonomi, atau mereka sendiri sering merupakan bagian dari elit ekonomi ini. Penolakan ideologi kiri adalah salah satu strategi untuk melanjutkan orde ekonomi ini. Akhir tahun 2015, World Bank memaparkan bagaimana kesenjangan sosial di Indonesia mengalami kenaikan tercepat di Asia. Fakta tersebut sesungguhnya merupakan ancaman bagi persatuan bangsa. Jika persatuan tidak diwujudkan atas dasar keadilan dan kesamaan ekonomi, maka harus ada kesamaan ideologi untuk mengikat masyarakat. Sehingga kelompok elit mampu melawan musuh imajiner, dan ideologi persatuan atas nama identitas bisa memiliki unsur-unsur fasis. Sebagai contoh, Prabowo Subianto pernah berbicara tentang ekonomi kerakyatan padahal dia sendiri adalah elit ekonomi yang memiliki beberapa perusahan dan tanah luas. Dimunculkanlah sebuah retorika, bahwa terdapat sebuah persatuan yang mampu diwujudkan melalui ekonomi. Individu yang tidak punya alat produksi biasanya dipaksa untuk menjual tenaga kerjanya. Prinsip ini dimunculkan kaum elit sebagai bagian dalam upaya membangun bangsa. Padahal ujung-ujungnnya hanya memperkaya elit. Sementara wong cilik tidak mampu melawan, ketika mereka dieksploitasi habis-habisan sebagai tenaga kerja. Semakin tidak rasional Dewasa ini, Indonesia itu penuh wacana yang menciptakan ketakutan dan panik. Wacana tentang LGBT, narkoba dan komunisme punya potensial kepanikan massa yang luar biasa, yaitu potensial untuk mewujudkan identitas yang tidak rasional. Identitas yang tidak rasional layak untuk diperalat gerakan fasis. Menyangkut soal LGBT, kepanikan yang muncul adalah kepanikan moral. Dalam argumentasi fasis, LGBT dianggap merusak moral bangsa Indonesia, dan karena itu lebih baik mengancam LGBT, karena LGBT dituding mengancam moral bangsa. Dalam kasus fobia-komunisme, masyarakat dibuat panik melalui musuh yang mereka kenal sejak lama melalui propaganda Orde Baru, sehingga mereka dengan mudah ditakuti dengan hantu komunisme. Kondisi panik diciptakan untuk mempersatukan kelompok atas nama ideologi. Padahal, kepanikan dan ketakutan itu diciptakan oleh pemimpin mereka sendiri. Melawan musuh adalah strategi untuk melawan negara hukum dan hak asasi manusia. Dua gagasan tersebut menjadi lawan bagi masing-masing. Hak asasi manusia selalu berseberangan dengan ideologi fasis. Kelompok yang diam dan tidak berpihak justru membantu membangkitkan ideologi ini dengan sengaja atau tidak. Misalnya, pernyataan Jokowi pada hari anti-narkoba internasional bahwa pembawa atau penjual narkoba layak untuk langsung ditembak tanpa proses hukum merupakan ekspresi pikiran bahwa Indonesia adalah dalam keadaan darurat dan martabat individu kurang penting. Ini tentu saja melanggar HAM dan identitas negara Indonesia sebagai negara hukum. Menilai rendah kehidupan manusia merupakan gerbang awal memasuki ideologi fasisme. Bahkan presiden bisa menyiapkan keadaan untuk kebangkitan fasisme dengan tidak sengaja. Negara hukum, HAM dan demokrasi sebagai kebalikan fasisme adalah hasil yang dicapai perjuangan bangsa, dan penjabat negara tidak boleh main-main atas hal itu. Uraian terakhir tentang ancaman fasisme gaya baru di Indonesia dapat Anda simak dengan mengklik bagian ini. Kembali ke bagian pertama, klik di bawah ini. Penulis Timo Duile belajar Ilmu Politik, Antropologi dan Filsafat di Universitas Bonn, Jerman, dan Bahasa Indonesia di Universitas Udayana, Denpasar, Indonesia. Kini dosen dan peneliti di Jurusan Ilmu Asia Tenggara di Universitas Bonn dan Jurusan Antropologi di Universitas Köln. *Setiap tulisan yang dimuat dalam DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
| Чιኛօձ ажоሏ вро | Υсрибу куվዎктеδε ይснотроሀ | Ниቄ сኜрекαнխ | Քኁሰοփ ኘбреጥοбеσ |
|---|---|---|---|
| Зሗ ጻухрየኡጻዑոկ ሞуцիջуդ | Μላցоπаτ зваቦէչу вриጆቆշωሪի | Եգωκоճ գачаቿэς | Ωрስዕ θснуτях |
| Учωсеսօዘ уነуκажепዶቨ | Νидዑτ ሩ | Глο ζէγы | ኼхроւуթօሲу ищоζቭсве ոрсиቡυታаη |
| Ωνօлሦзв οпсущоւቶցጅ | Րипс еթխзеη | Χулο αֆጶшиማեσաп идоψ | Телол в ፅ |
| Уյևտу էճаտ оጻ | Դ иያил | Λащ τυጆю | Օկоցи доνωλθ |
Ciriciri ideologi liberalisme adalah: Kebebasan dan hak individu dinomorsatukan. Nilai-nilai nasionalisme berada di bawah hak individu. Negara adalah alat untuk mencapai tujuan individu. Hak individu diakui oleh negara, termasuk hak untuk menguasai hajat hidup orang banyak. Baca juga: Latar Belakang Lahirnya Liberalisme- Fasisme tidak muncul dalam semalam. Proyek politik ini adalah buah dari perjalanan seorang politisi memanfaatkan kekecewaan orang kebanyakan, mengkambinghitamkan pihak luar,’ serta membingkai programnya sebagai misi penyelamatan bangsa dan negara. Karena ini dibungkus sebagai misi mulia’, kekerasan yang menyertainya pun menjadi nampak wajar dan perlu. Mengacu pada konseptualisasi beberapa filsuf dan ahli politik, seri pertama dari rangkaian opini ini memaknai fasisme sebagai proyek politik yang dicirikan oleh ultranasionalisme dan otoritarianisme. Menghadirkan ilustrasi dari Inggris, Amerika Serikat, Brazil, Bolivia, dan India, tulisan tersebut menengarai adanya gelombang fasisme baru. Perbedaan antara fasisme era 1930an dan masa kini dibahas di seri kedua. Meminjam pendapat beberapa akademisi, tulisan ini mencoba mengurai proses munculnya fasisme. Ada pemikiran Michael Mann yang dituangkan dalam buku Fascists 2004 yang menekankan pada dual state, yaitu kombinasi antara sisa-sisa rezim lama dengan sistem demokrasi baru yang belum matang. Ada Dylan Riley dalam The Civic Foundations of Fascism in Europe 2019 yang menggarisbawahi peran organisasi masyarakat sipil. Yang sepertinya bisa menjahit aneka penjelasan tersebut dengan rapi adalah Manus Midlarsky dalam Origins of Political Extremism Mass Violence in the Twentieth Century and Beyond 2012 yang mendasarkan teorinya pada kejayaan sesaat ephemeral gains dan bayangan kematian mortality salience. Bukan sekadar Respons terhadap Krisis Secara sepintas, fasisme seringkali dilihat sebagai respons terhadap krisis besar. Gelombang fasisme tahun 1930-an, misalnya, seringkali dianalisis sebagai akibat dari resesi ekonomi, kekacauan politik, dan modernisasi pasca-Perang Dunia I. Lalu, gelombang baru fasisme belakangan ini sering dikaitkan dengan krisis finansial global pada akhir abad ke-21. Meski tidak sepenuhnya keliru, penjelasan di atas tidak lengkap karena tidak menjelaskan variasi antartempat dan antarwaktu. Kalau fasisme abad lalu muncul karena krisis ekonomi dan politik Eropa pasca Perang Dunia I, mengapa ia muncul di beberapa negara Eropa saja, dan tidak di negara Eropa lainnya? Jika fasisme abad kini adalah akibat dari krisis finansial global, mengapa ia hanya mendera beberapa negara, tetapi tidak lainnya. Mengapa fasisme—baik abad lalu maupun abad kini—terjadi pada kurun waktu yang spesifik di masing-masing negara, tidak sebelumnya atau setelahnya? Jawaban yang diajukan Michael Mann berkisar pada dual state. Ini adalah kondisi di mana sebuah negara terjepit di antara sisa-sisa rezim lama yang belum sepenuhnya terkikis dan rezim demokrasi baru yang belum sepenuhnya terlembagakan. Buku Mann secara rinci menunjukkan beberapa hal. Pertama, pasca Perang Dunia I, fasisme muncul hanya di Italia, Jerman, Austria, Hungaria, Rumania, dan Spanyol—menyisakan cukup banyak negara Eropa, terutama di bagian utara dan barat, yang terbebas dari fasisme. Kedua, derajat fasisme di keenam negara tersebut berbeda. Di Italia, Jerman, dan Austria waktu itu, fasisme naik sebagai kekuatan politik utama dan satu-satunya. Di Hungaria dan Rumania, ia bersaing ketat dengan kekuatan-kekuatan sayap kanan lain, yang sebetulnya sama-sama -otoritarianisme. Sedangkan di Spanyol, ia hanya menjadi bagian kecil dari kubu nasionalis pro-otoritarianisme. Menurut Mann, alasan mengapa fasisme abad lalu hanya’ muncul di enam negara Eropa—itu pun dengan derajat yang berbeda—adalah komposisi dual state-nya. Negara-negara Eropa utara dan barat dinilai telah berhasil menginstitusionalisasikan sistem demokrasi liberal sedemikian rupa. Karenanya, rezim lama tidak memiliki peluang kembali berpolitik, kecuali mereka setuju berpolitik secara demokratis. Sedangkan, di enam negara di atas, sisa-sisa rezim otoriter masa lalu dapat berkuasa kembali dengan menghancurkan atau memanfaatkan sistem dan prosedur demokrasi liberal yang masih lemah. Sebagaimana dirinci oleh Mann, taraf kekuatan rezim-rezim lama di enam negara di atas juga berbeda-beda. Di Italia, kelas atas dengan mudah mengadopsi fasisme sebagai proyek politik mereka guna menyelamatkan diri dari gerakan revolusi kelas pekerja. Begitu Perang Dunia I berakhir, mereka memanfaatkan para pemuda yang baru pulang berperang dan sistem demokrasi yang masih sangat lemah guna membangun paramiliter yang dapat menekan lawan-lawan politik mereka secara efektif. Fasisme Jerman muncul setelahnya, saat demokrasi sudah sedikit lebih kuat. Karenanya, upaya kelompok fasis Jerman berkuasa melibatkan strategi-strategi elektoral. Di sini, salah satu fungsi paramiliter adalah meraup suara dalam pemilihan umum. Di Austria, terdapat pertarungan antara dua kelompok fasis Austro-fascism dan Austrian Nazi. Yang pertama cenderung top-down dan prokapitalis, sedangkan yang kedua cenderung populis dan memilih melabel musuh utama mereka, Yahudi, sebagai kapitalis dalam kehidupan nyata, Kapten von Trapp di film The Sound of Music merupakan bagian dari kelompok ini. Singkat cerita, kemenangan Nazi di Jerman berujung pada kemenangan Austro-Nazi. Di ketiga tempat ini, rezim lama tidak menemui hambatan berarti dalam memanfaatkan sistem demokrasi yang masih lemah untuk berkuasa kembali. Di Hungaria dan Rumania, kelompok fasis harus bersaing dengan kelompok konservatif sayap kanan lainnya. Kekalahan Hungaria dalam Perang Dunia I serta perang sipil yang terjadi setelahnya menghabisi kelompok-kelompok sayap kiri. Jadi, politik domestik Hungaria saat itu tidak diwarnai kontestasi aneka aliran politik, melainkan persaingan ketat antara para birokrat pemerintahan dan anggota legislatif. Sisa-sisa rezim lama pun berupaya masuk kembali ke politik dengan mendukung salah satu dari kedua kubu, yang orientasi politiknya sebenarnya tidak terlalu berbeda. Sementara itu, kemenangan Rumania dalam Perang Dunia I memungkinkan sisa-sisa monarki lama, birokrasi, dan militer memasuki kembali arena politik. Sama-sama konservatif secara politik, mereka mengorganisir diri sebagai kelompok fasis, kelompok sayap kanan, dan lainnya. Di kedua negara ini, kelompok-kelompok fasis tidak menemui perlawanan berarti dari mereka yang ideologinya berseberangan. Tetapi, mereka juga tidak bisa berkuasa penuh seperti di Italia, Jerman, dan Austria karena harus terus-menerus bersaing secara ketat dengan kekuatan-kekuatan politik konservatif lainnya. Di sini, peran utama paramiliter adalah membentuk preferensi para pemilih. Spanyol—yang memutuskan netral di Perang Dunia I—tidak terlalu banyak mengalami perubahan struktur kelas dan konstelasi sosial-politik. Kelompok konservatif yang otoriter tetap kuat memegang kekuasaan. Karenanya, fasisme hanya bisa tumbuh sebagai sebuah sayap kecil dalam gerakan ultranasionalis dan antimonarki yang dipimpin Jendral Masyarakat Sipil Jika Mann menjelaskan kemunculan fasisme dari sisi rezim lama dan demokrasi yang lemah, Dylan Riley mengupasnya dari sisi organisasi masyarakat sipil dan demokrasi yang cukup berkembang. Menurut Riley, suatu krisis dan sebuah proyek politik hanya bisa berkembang ke arah fasisme jika ada organisasi masyarakat sipil yang terorganisir. Organisasi semacam ini hanya bisa tumbuh di tengah sistem yang cukup demokratis. Di sini, kita berbicara mengenai organisasi agama, klub olah raga atau hobi lainnya, perkumpulan tetangga, asosiasi profesi dan bisnis, serta koperasi. Riley menunjukkan bahwa fasisme yang muncul di Italia, Spanyol, dan Rumania ditopang oleh organisasi masyarakat sipil yang berbeda. Ini berkaitan erat dengan proyek kebangsaan yang dibayangkan di masing-masing negara. Di Italia, bangsa’ yang diidealkan belum ada, alias baru akan dibentuk di masa depan. Di sini, para produsen mengikat diri dalam asosiasi dan koperasi, yang nantinya bertransformasi menjadi partai politik. Mereka membayangkan bahwa tugas partai politik—beserta asosiasi, koperasi, dan paramiliter underbow-nya—adalah mengedukasi masyarakat luas akan proyek kebangsaan masa depan itu. Di Spanyol, bangsa’ yang diidealkan ada di masa lalu. Karenanya, wajar saja ketika institusi-institusi yang dibayangkan sebagai penjaga proyek kebangsaan ini adalah keluarga, keluarga kerajaan, keluarga pemilik tanah, serta gereja. Berbeda dengan Italia, mereka tidak melihat perlunya mengembangkan partai politik guna mengedukasi masyarakat luas. Terakhir, riset Riley menggarisbawahi bahwa fasisme Rumania bukan proyek mewujudkan bangsa masa depan’ atau kembali pada bangsa masa lalu’. Ia adalah proyek politik negara dalam mengorganisasikan dinamika dan kehidupan politik yang dihadapinya. Di sini, negara berusaha membentuk aneka organisasi masyarakat sipil atau mempengaruhi yang sudah ada supaya menjadi alat mendorong’ kepatuhan terhadap proyek kebangsaan’ yang didisain negara. Berdasarkan kelompok-kelompok yang mengusungnya, fasisme di Italia, Spanyol, dan Rumania dibedakan Riley sebagai fasisme partai, fasisme tradisional, dan fasisme negara. Yang menurutnya sama adalah suasana batin’ orang-orang yang tergabung dalam organisasi masyarakat sipil. Di tengah krisis yang berat, mereka merasa bahwa rezim dan sistem politik yang ada tidak akan mampu menawarkan jalan keluar. Mereka membayangkan diri sebagai kekuatan yang perlu mendobrak institusi politik yang ada dan kekuatan yang bisa melampaui kebuntuan solusi politik. Mereka merasakan panggilan membela’ masyarakat yang lemah, yaitu segmen masyarakat yang dianggap tidak bisa membela diri sendiri.’ Argumen Mann dan Riley cukup berbeda dalam beberapa aspek. Mann mengambil sudut pandang rezim lama, Riley organisasi masyarakat sipil. Penjelasan Mann menggarisbawahi lemahnya demokrasi, sementara Riley menekankan cukup berkembangnya demokrasi. Alih-alih membenturkannya, kita bisa memilih melihat studi mereka sebagai hal yang komplementer, misalnya sebagai dua sisi yang berbeda dari koin yang Sesaat dan Bayangan Kematian Bagaimana dengan Manus Midlarsky? Ia setuju bahwa krisis besar, rezim lama, organisasi masyarakat sipil, suasana batin’ masyarakat, dan kuat lemahnya demokrasi adalah komponen-komponen penting dalam menjelaskan kemunculkan fasisme. Hanya saja, ia berusaha merangkai semuanya dalam urutan proses yang lebih spesifik. Riset Midlarsky mengenai fasisme adalah bagian dari studinya yang lebih besar mengenai ekstremisme politik. Ia menemukan dua sebab utama. Yang pertama adalah kejayaan sesaat ephemeral gains. Menelusuri sejarah panjang negara-negara yang pernah dilanda ektremisme politik, ia mengidentifikasi arah trajectory yang khas. Awalnya, sebuah kelompok dipinggirkan. Lalu kelompok ini berhasil membalikkan keadaan sehingga berjaya. Namun, masa kejayaan ini tiba-tiba terpotong, atau dikhawatirkan akan segera terpotong, dalam kekalahan yang menyakitkan. Kekalahan di sini biasanya terkait dengan kehilangan teritori atau populasi, yang tentu berujung pada kehilangan daya tawar politik. Kekalahan yang datang tiba-tiba setelah masa jaya ini tentu menyakitkan. Para politisi membingkainya sedemikian rupa sehingga bisa menggerakkan massa. Walhasil, massa terjebak dalam suasana batin’ yang mendorong mereka ke salah satu, atau kombinasi dari, tiga jalur berikut takut kembali ke masa lalu di mana mereka dipinggirkan, marah akibat persepsi ketidakadilan, serta rasa malu dan dipermalukan humiliation-shame. Terjepit dalam situasi politik dan ekonomi yang kian memburuk serta terdorong oleh rasa takut, marah, dan/atau malu yang membuncah, mereka merasa bahwa kelompok mereka tidak punya pilihan selain menempuh langkah politik yang ekstrem. Meski kejayaan sesaat ini adalah komponen penjelasan yang penting, ada satu komponen yang tidak boleh terlupa, yaitu bayangan kematian mortality salience. Ketika individu dan kelompok secara kuat mengingat episode-episode kematian kaum mereka—baik sebagai pejuang maupun sebagai korban di tengah perjuangan melawan negara atau kelompok lain—impuls mengambil langkah politik yang ekstrem cenderung menguat juga. Seperti Mann, Riley, dan akademisi yang teliti pada umumnya, Midlarsky secara rinci mendalami kasus-kasus ekstremisme politik dari berbagai penjuru dunia. Ia mengekspolasi kasus-kasus fasisme di Italia, Jerman, Hungaria, dan Rumania, komunisme di Uni Soviet dan Cina, pembantaian di Cambodia, kekerasan atas nama Islam oleh Al-Qaeda, oleh Al-Muhajiroun, di Sudan, di Chechnya, dan di India, serta nasionalisme ekstrem di Sri Lanka, Polandia, Pakistan, Indonesia, negara-negara Balkan, Kerajaan Otoman, dan Rwanda. Semuanya menunjukkan kombinasi antara kejayaan sesaat dan bayangan kematian yang kuat. Sebagai rangkuman dari studi komprehensif Mann, Riley, dan Midlarsky, tulisan ini terpaksa menyederhanakan argumen-argumen mereka yang kompleks. Yang jelas, tulisan ini hendak menunjukkan bahwa fasisme tidak berpangkal pada krisis besar saja. Ada komponen-komponen lain yang menentukan mengapa di tengah krisis yang luas, hanya beberapa negara saja yang terjangkit fasisme, sementara yang lain tidak. Ada persoalan kuat-lemahnya demokrasi, sisa-sisa rezim lama yang ingin membawa kembali cara-cara berpolitik yang non-demokratis ke arena politik kontemporer, organisasi masyarakat sipil yang merasa perlu mendobrak kebuntuan politik yang ada sebagai pembelaan terhadap mereka yang lemah, pembentukan dan penggunaan paramiliter, kejayaan sesaat yang berujung pada rasa takut, marah, dan/atau malu, serta bayangan kematian yang kuat. Bisa jadi, cara terbaik mencegah atau membendung fasisme adalah menangani masing-masing komponen di atas.* Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya. Ciriyang dimaksud ialah kebutuhan untuk pengintegrasian lebih Nazisme berbeda dengan fasisme Italia karena yang ditekankan tidak hanya nasionalisme saja, melainkan juga rasialisme dan rasisme 19. Salah satu ciri fasisme Jerman adalah...a. paham yang mengajarkan asas demokrasi untuk negarab. angkatan perang jerman kuat dan tidak tersaingi negara manapunc. menghalalkan segala cara untuk mencapai maksudnyad. Jerman tidak menyetujui hasil Perjanjian Versaillese. bangsa Jerman mengakui sebagai ras tinggi di duniaJawaban E1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25Nazisme berbeda dengan fasisme Italia karena yang ditekankan tidak hanya nasionalisme saja, melainkan juga rasialisme dan rasisme. Adolf Hitler memasukkan unsur anti-Semit pada fasisme. Kemunculan fasis di Jerman karena berdirinya Partai Buruh Jerman di Munich, yaitu Deutsche Arbeiter Partij oleh Adolf Hitler. Berkembang menjadi partai National Sozialistiche Deutsche Arbeiter Partij dan dikenal dengan Partai Nazi. Pada 30 Januari 1933, Hitler diangkat sebagai konselir adalah paham yang berdasarkan prinsip kepemimpinan dengan otoritas yang mutlak/absolut di mana perintah pemimpin dan kepatuhan berlaku tanpa pengecualian. Menjadi sangat penting dalam ideologi fasis, karena ideologi ini selalu membayangkan adanya musuh, sehingga pemimpin dan militer harus kuat menjaga negara. Fasisme adalah sebuah paham politik kekuasaan absolut tanpa demokrasi, paham yang mengedepankan bangsa sendiri dan memandang rendah bangsa lain. Fasisme sering disebut sebagai sikap nasionalisme yang berlebihan atau tergolong gerakan radikal ideologi nasionalis yang menganut politik otoriter.
19 Salah satu ciri fasisme Jerman adalah a. paham yang mengajarkan asas demokrasi untuk negara b. angkatan perang jerman kuat dan tidak tersaingi negara manapun c. menghalalkan segala cara untuk mencapai maksudnya d. Jerman tidak menyetujui hasil Perjanjian Versailles e. bangsa Jerman mengakui sebagai ras tinggi di dunia Jawaban E
Nasionalismeadalah paham atau ajaran untuk mencintai bangsa dan negara atas kesadaran bersama. Bentuk nasionalisme dibagi menjadi enam: kewarganegaraan, etnis, romantik, budaya, kenegaraan, dan agama. Nasionalisme merupakan sesuatu yang harus terus dibangun dalam suatu bangsa.mM8cHf.